Konawe, Peristiwa24.Id – Puluhan warga asal Bulukumba, Sulawesi Selatan, mulai membuka lahan tambak secara mandiri di kawasan pesisir Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, sejak tahun 1985. Kedatangan mereka dilakukan secara bertahap dalam rombongan kecil maupun perorangan, setelah sebelumnya bermukim sementara di Desa Hukaea, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Buton (kini Bombana), sejak 1981.
Misi utama mereka adalah membudidayakan ikan bandeng, udang, dan kepiting di lahan mangrove yang membentang dari Muara Sampara hingga Lalimbue Jaya. Rombongan awal sempat tinggal selama sekitar lima tahun di Tembe (Bombana) sebelum akhirnya memutuskan pindah ke Konawe, yang kala itu masih masuk wilayah Kabupaten Kendari.
“Kami datang ke Konawe bukan tiba-tiba. Sebelumnya kami tinggal di Hukaea, Buton, sekitar lima tahun. Karena keterbatasan lahan dan peluang usaha, sebagian besar memilih pindah ke pesisir Sampara,” kata Muhammad Sahib, tokoh perintis kelompok migran Bulukumba, kepada wartawan, Kamis (1/5).
Permukiman awal mereka dibangun di sekitar Lapulung, Desa Muara Sampara, dan Lalimbue Jaya. Rumah-rumah mereka dibangun dari bahan alami seperti kayu bulat, daun nipa, dan rumbia. Seiring waktu, anggota keluarga dan rekan dari Hukaea terus berdatangan, melanjutkan pembangunan tambak dengan semangat gotong royong.
Menurut Muhammad Sahib, lahan-lahan yang mereka tempati diperoleh melalui izin langsung dari kepala desa setempat atau melalui sistem ganti rugi kepada pemilik lahan pribumi.
Namun pada 1987, mereka menghadapi kendala administratif. Pemerintah Kecamatan Sampara menertibkan status domisili warga pendatang dan menuntut surat pindah resmi. Tidak satu pun dari mereka saat itu memiliki dokumen tersebut.
“Saya diberi kepercayaan oleh kelompok untuk menghadap muspika. Syukurlah Camat, Kapolsek, dan Danramil memberi kesempatan untuk kami lengkapi dokumen dari desa asal,” ujar Muhammad Sahib.
Ia lalu berangkat ke Desa Hukaea dan bertemu langsung dengan Kepala Desa Fattah Ibrahim. Dalam pertemuan itu, Fattah mengeluarkan Surat Keterangan Pindah (SKP) resmi dan menyampaikan surat nasihat kepada warga Hukaea yang telah berpindah ke Batu Gong, Konawe.
“Setiap kepindahan itu, sebaiknya melalui prosedur. Maksud kami, laporkanlah lebih dahulu kepada pemerintah desa agar tidak tersentak-sentak keadaannya sebagaimana yang dialami sekarang ini,” tulis Fattah Ibrahim dalam suratnya tertanggal 14 April 1987.
Setelah legalitas administrasi terpenuhi, proses migrasi semakin lancar. Pada awal 1990-an, gelombang baru warga Bulukumba mulai berdatangan langsung dari kampung halaman melalui jalur laut Bajoe–Kolaka. Mereka menyebar di berbagai titik pesisir Konawe, seperti Lalonggobuno, Kapoiala, Morosi, dan Tondowatu, untuk membuka lahan tambak secara sah.
Hingga kini, sebagian keluarga tersebut masih menetap dan bertahan sebagai petambak tradisional. Meskipun belum sepenuhnya sejahtera, hasil budidaya udang dan kepiting mereka tetap menjadi andalan nafkah dan turut menyuplai pasar ikan di Kota Kendari.