Iklan



Redaksi
Kamis, 11 September 2025, September 11, 2025 WIB
Last Updated 2025-09-11T03:38:52Z
InternasionalKementerian Kesehatan ThailandKeperluan MedisPenjualan GanjaPeristiwwa

Thailand Ubah Undang Undang Wajibkan Ganja Hanya Boleh Dijual Untuk Keperluan Medis

 



Bangkok,Peristiwa24.id -

Sejak Thailand mengubah undang-undang pada 25 Juni yang mewajibkan ganja hanya boleh dijual untuk keperluan medis, pelaku usaha mengatakan banyak pelanggan mereka beralih ke pasar gelap. Akibatnya, penjualan di mayoritas dari 18.000 toko mariyuana berlisensi di Thailand anjlok hingga 90 persen.

Perubahan peraturan yang diumumkan Kementerian Kesehatan Thailand dalam Maklumat Kerajaan itu memicu ketakutan dan kebingungan di kalangan konsumen, sekaligus membuat pelaku usaha kecil ragu untuk mematuhi peraturan.

Ganja memang masih legal di Thailand, namun ada sejumlah persyaratan tambahan bagi pembeli dan penjual. Di antaranya adalah kewajiban konsumen memiliki resep dokter.

Ada beberapa alasan medis yang sah untuk mendapatkan resep ganja, antara lain sakit kepala, mual, epilepsi, dan nyeri akibat kanker. Data pasien, termasuk nama, usia, kewarganegaraan, nomor identitas, serta diagnosis, juga harus tercatat.

Penjual yang melanggar aturan terancam hukuman penjara maksimal satu tahun dan denda 20.000 baht (Rp10 juta), serta pencabutan izin usaha.

Peraturan baru juga mengatur batasan ganja yang bisa dibeli, yaitu maksimal 30 gram untuk persediaan selama satu bulan.

Petani ganja kini wajib mematuhi sertifikasi pemerintah bernama Thailand GACP (Good Agricultural and Collection Practices), yang bertujuan memastikan budidaya ganja memenuhi standar mutu dan keamanan ketat untuk penggunaan medis.

Pada Senin (1/9), Kementerian Kesehatan Thailand mengumumkan sejumlah penjelasan tambahan untuk mendukung pelaku usaha.

Di antaranya kewajiban registrasi di pusat data kementerian, pemberian akses telemedis bagi pelanggan baru, serta pelatihan bagi staf untuk meningkatkan pengetahuan dan profesionalisme di industri ini.

Mereka yang kontra dengan aturan baru ini menilai kebijakan tersebut sulit dipatuhi dan bermuatan politik. Sebaliknya, para pendukung menilai langkah ini akan membantu mengendalikan industri yang dalam beberapa tahun terakhir berkembang liar tanpa adanya pengawasan mutu.

"Kami ingin menyampaikan kepada para wisatawan, silakan datang untuk menikmati budaya dan alam Thailand, tetapi jangan memandang negara ini sebagai tujuan rekreasi ganja," kata Menteri Kesehatan Masyarakat Thailand Somsak Thepsuthin kepada CNN, Juni lalu.

Somsak menambahkan, aturan baru ini menutup celah hukum dan mencegah penyalahgunaan setelah negara itu melegalisasi ganja.

“Kami tidak menutup toko ganja, tetapi kami memprioritaskan keperluan medis,” ujarnya.

“Pendapatan mungkin turun pada awalnya, tetapi mengingat dampak sosial dari penggunaan ganja tanpa aturan, perubahan ini perlu dilakukan … pelaku usaha yang bertanggung jawab dan taat hukum akan tetap stabil dan terus beroperasi.”

Kementerian Perdagangan Thailand memperkirakan dalam laporan 2022 bahwa industri ganja bisa bernilai US$1,2 miliar (sekitar Rp18,2 triliun) pada 2025.

PASAR GELAP MENJAMUR

Dalam dua bulan terakhir penjualan di banyak toko ritel ganja anjlok, ujar Rattapon Sanrak, pendiri Highland Cafe sekaligus tokoh berpengaruh dalam industri ganja Thailand selama lebih dari satu dekade.

"Usai pengumuman itu, penjualan langsung turun 80 hingga 90 persen di semua lini, karena orang panik dan merasa tidak nyaman datang ke toko untuk membeli,” kata Rattapon, yang membuka toko mariyuana pertama di Thailand saat ganja didekriminalisasi.

Menurut Warittha, pemilik toko ganja Bangkok Exotics Dispensary, kondisi saat ini sangat buruk.

Beberapa hari sebelum berbicara dengan CNA, salah satu cabangnya di Krabi, Thailand selatan, terpaksa ditutup. Rencana membuka gerai di kawasan ramai Thonglor, pusat Bangkok, juga batal karena pemilik gedung takut dengan aturan ketat penjualan ganja.

Ia mengatakan, pelanggannya juga khawatir dengan persyaratan baru. Akibatnya, penjualan di gerai-gerai ganja turun drastis dibanding sebelumnya.

“Kecemasan dan kepanikan mulai muncul, dan saya tidak tahu harus berbuat apa,” kata Warittha, yang terjun ke industri ini setelah ganja dilegalkan.

Warittha mengatakan pelanggannya sebagian besar adalah konsumen kelas atas, seperti para profesional yang kerap membeli dalam jumlah besar. Biasanya, mereka enggan mendaftar ke basis data pengguna yang dipersyaratkan dalam aturan baru.

“Orang-orang seperti ini tidak ingin mengungkapkan bahwa mereka memakai ganja. Mereka ingin tetap low profile, karena di masyarakat kami, penggunaan ganja masih dianggap buruk.”

Untuk bertahan, pelaku usaha mengaku terpaksa menerima pembeli tanpa resep dokter. Mereka juga rutin menguruskan resep atas nama pembeli meski pembeli tersebut tidak pernah berkonsultasi dengan dokter.

Rattapon memperkirakan 90 hingga 95 persen toko di Thailand tetap menjual untuk bertahan tanpa melengkapi dokumen resmi.

“Aturan ini benar-benar memaksa orang masuk ke jalur bawah tanah, menjual secara ilegal, karena mereka harus bertahan hidup. Mereka harus memberi makan keluarga. Tidak ada pilihan lain. Mereka sudah menanamkan banyak uang di bisnis ini,” ujarnya.

Wisatawan, lanjut Rattapon, juga enggan mendaftarkan diri sebagai pengguna, yang akhirnya membuat mereka mencari ganja lewat jalur tidak resmi.

“Kami tidak bisa meminta pelanggan, ‘Hei, ke dokter dulu lalu datang lagi ke sini.’ Mereka tidak akan melakukannya. Itu tidak mungkin,” katanya. Sebaliknya, mereka cukup mencari di Google, belanja di toko daring, atau ke gerai terdekat yang tetap bersedia menjual, tambahnya.

Seorang pengguna dengan nama panggilan “Book” mengatakan ia percaya banyak orang di Thailand, termasuk dirinya, memilih membeli ganja lewat jalur tidak resmi, seperti lewat internet atau media sosial, lebih praktis dan harganya murah. 

“Alasan utamanya adalah harga,” kata Book kepada CNA. “Di toko, misalnya di Khaosan Road, harganya mungkin mulai sekitar 300 baht (Rp152.000) per gram. Di pasar gelap, harganya mulai sekitar 50 atau 80 baht (Rp25.000–Rp41.000), dan bagi saya, kualitasnya sudah bagus.”

Anawat, seorang petani sekaligus penjual ganja di pasar gelap, telah menyerah untuk menjadikan "hobinya" itu sebagai bisnis legal. 

Awalnya ia memproduksi rokok elektrik dengan minyak ganja untuk membantu mengatasi asma parah yang dideritanya. Lalu dia menjualnya dan laris manis. Setiap bulan, dia bisa menjual 10 hingga 20 perangkat ke jaringan kecil di pasar gelap.

“Tidak mungkin mencari uang lewat jalur resmi,” katanya.

Warittha, yang menanam ganja di lantai atas ruko sewaannya, terpaksa menebang tanaman induk yang digunakan untuk menghasilkan pasokan bibit baru dengan karakteristik serupa.

Menurutnya, mengurus sertifikasi GACP sangat sulit karena mensyaratkan protokol kebersihan ketat dan uji laboratorium yang mahal.

“Aku tidak tahu berapa lama kami bisa bertahan melakukan ini,” ujarnya.

WAJAH BARU PENEGAKAN ATURAN

Mereka yang mendorong regulasi lebih ketat mendukung langkah pemerintah.

“Ganja di Thailand masih legal untuk medis. Kami bukan negara tujuan untuk mabuk. Kami memang Negeri Senyuman, tapi bukan senyuman yang seperti itu,” kata Tom Kruesopon, pengusaha yang dulu menjadi tokoh kunci dalam dekriminalisasi ganja Thailand, namun kini mendorong pengawasan lebih ketat setelah melihat perkembangan industri dalam beberapa tahun terakhir.

Menurutnya, tidak masuk akal jika toko ganja bisa bermunculan di setiap sudut negeri tanpa diregulasi.

“Kalau toko ingin terus menjual ganja bagi orang yang membutuhkan, silakan saja, asalkan mengikuti aturan hukum. Dari yang tadinya bebas, kini ada wajah baru penegakan aturan,” katanya, merujuk pada Menteri Somsak yang memimpin upaya menindak penggunaan ganja tanpa pengawasan.

Thailand, menurut Tom, tidak boleh goyah dalam komitmennya menyingkirkan produk ganja yang beredar tanpa pengawasan.

Ia menilai sikap yang ingin mempertahankan penjualan ganja secara bebas sebagai “sikap kekanak-kanakan”.

“Bukankah lebih baik memastikan produk ganja yang dijual sudah terjamin mutunya, bukan yang terkontaminasi?” katanya.

“(Saat ini) Anda tidak tahu apa yang Anda hisap. Anda tidak tahu apa yang masuk ke paru-paru Anda. Ada pestisida, ada kontaminasi,” ujarnya.

Bagi Kitty Chopaka, aktivis legalisasi ganja sekaligus pengusaha, masalah utama terletak pada kebijakan pemerintah yang dibuat secara tergesa-gesa.

Ada perpecahan politik antara partai berkuasa Pheu Thai, yang ingin kembali memasukkan ganja ke daftar narkotika, dan Partai Bhumjaithai, yang keluar dari koalisi pemerintahan Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra setelah rekaman teleponnya dengan mantan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen terkait ketegangan perbatasan bocor.

Bhumjaithai memiliki keterikatan kuat dengan industri ini dan menginginkan rancangan undang-undang yang lebih longgar. Partai tersebut mendukung penggunaan ganja hanya untuk tujuan medis, tetapi mendorong adanya sistem perizinan bertingkat, larangan iklan, batasan usia, dan pengawasan resep.

“Kita tidak bisa menyangkal bahwa semua ini urusan politik, karena kebijakan Thailand tidak berjalan berdasarkan logika,” kata Kitty.

“Siapa pun yang berkuasa, atau siapa pun yang punya uang paling banyak atau pengaruh paling besar, bisa berbuat sesuka hati, bukan hanya soal ganja, tapi juga topik politik apa pun di Thailand,” ujarnya.

Pelaku usaha menginginkan regulasi sekaligus kepastian, kata Kitty. Namun, ia menekankan aturan jangan sampai menyingkirkan pelaku usaha kecil yang terbebani biaya administrasi tinggi dan hambatan masuk pasar yang sulit ditembus.

Menteri Somsak sebelumnya mengatakan ganja “pasti akan dimasukkan kembali” dalam daftar narkotika. Namun, Tom menilai pemerintah bersedia mencari jalan tengah melalui paket aturan baru untuk beberapa tahun ke depan.

Sementara itu, industri ganja tetap gelisah. Rattapon terlibat dalam rencana gugatan class action yang melibatkan ratusan penggugat, dengan mempertimbangkan tuntutan kompensasi atas perubahan kebijakan ganja yang mendadak dan dianggap merugikan usaha mereka.

Namun, berkas perkara itu belum diajukan ke pengadilan.

Rattapon mengatakan, saat ini banyak orang yang bergerak di sektor industri ganja takut dijerat pidana jika mariyuana kembali dikriminalisasi.

“Persoalan (dekriminalisasi) sudah berakhir, dan kita tidak seharusnya kembali ke masa sebelum itu.”

Sumber : CNA.id