TANJUNGBALAI, Peristiwa24.id -
Jerit keluarga Rahmadi pecah dari sebuah rumah sederhana di Kota Tanjungbalai. Mereka mendesak Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo turun tangan mengusut dugaan rekayasa kasus narkoba terhadap Rahmadi.
Pasalnya, lelaki 34 tahun itu kini duduk di kursi terdakwa kasus narkoba. Namun, bagi keluarganya, Rahmadi bukanlah penjahat, melainkan korban rekayasa.
Sejak awal penangkapan, tanda-tanda kejanggalan sudah muncul. Rekaman CCTV dari sebuah toko pakaian pada 3 Maret 2025 memperlihatkan tubuh Rahmadi dipiting, diinjak, dan dihantam gagang pistol oleh aparat yang dipimpin Kanit 1 Ditresnarkoba Polda Sumut, Kompol Dedi Kurniawan (DK).
"Adik kami diperlakukan seperti binatang. Padahal dia bukan pelaku," ujar Eli Daharnum, kakak Rahmadi, Minggu (21/9/2025).
Masalah tidak berhenti di situ. Sepekan setelah ditahan, keluarga mendapati saldo Rp11,2 juta dalam rekening M-Banking Rahmadi raib. Padahal ponselnya sudah disita polisi sejak hari penangkapan.
Ironisnya, penyitaan itu tidak disertai dokumen resmi, berita acara, ataupun laporan digital forensik.
"Kami menduga ada yang membuka akses rekening setelah ponsel disita dan Rp11,2 juta mengalir ke rekening BCA dengan inisial Boru Purba," kata Eli.
Kejanggalan juga tampak pada barang bukti. Sabu seberat 10 gram yang sejatinya disita dari tersangka lain, Andre Yusnijar, tiba-tiba muncul sebagai barang bukti untuk menjerat Rahmadi.
Fakta ini semakin mencurigakan ketika diuji di pengadilan. Dua anggota Ditresnarkoba Polda Sumut, Bripka Toga M Parhusip dan Gunarto Sinaga, memberikan keterangan berbeda dalam sidang di Pengadilan Negeri Tanjungbalai, 14 Agustus 2025.
Toga menyebut sabu ditemukan di bawah jok depan mobil Rahmadi. Sementara Gunarto menegaskan barang itu ada di bawah kursi pengemudi.
Perbedaan yang mencolok ini sempat mendapat sorotan dari majelis hakim.
"Apakah benar barang bukti itu kalian temukan? Bukan kalian yang menaruhnya, kan?" tanya hakim anggota.
Bagi keluarga, kesaksian yang bertolak belakang mempertebal dugaan rekayasa.
Kemarahan warga pun meledak. Akhir Juli 2025, puluhan warga Tanjungbalai mendatangi Markas Polda Sumut di Medan.
Mereka berorasi, mendesak pencopotan Kompol Dedi Kurniawan dan pengusutan dugaan rekayasa kasus Rahmadi.
Poster bertuliskan "Bebaskan Rahmadi", "Stop Kriminalisasi", hingga "Pecat Kompol DK" dibentangkan di depan gerbang Polda Sumut.
Suasana sempat memanas ketika massa menuntut Propam segera turun tangan.
"Kalau polisi bisa seenaknya merekayasa kasus, siapa pun bisa jadi korban," teriak seorang orator kala itu.
Namun, hingga massa bubar menjelang sore, tak seorang pun pejabat utama Polda Sumut keluar menemui pengunjuk rasa.
Belakangan, Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Ferry Walintukan, tidak menampik adanya tindakan di luar prosedur dalam proses penangkapan Rahmadi.
Ia menyebut tindakan yang dilakukan oleh Kompol DK, perwira yang memimpin penangkapan, tergolong berlebihan.
"Penangkapan yang dilakukan memang tidak menyalahi prosedur hukum. Tapi tindakan Kompol DK saat itu berlebihan," kata Ferry.
Meski demikian, soal sanksi, Ferry menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme internal.
"Nantinya akan ditentukan oleh ankum (atasan yang berwenang menghukum) di Direktorat Reserse Narkoba. Apakah ada pelanggaran disiplin atau kode etik, itu akan dinilai di sana," ujarnya.
Di ruang sidang Pengadilan Negeri Tanjungbalai, keluarga Rahmadi hadir di hampir setiap agenda.
Mereka duduk dengan wajah tegang, menanti palu hakim diketuk. Setiap kali nama Rahmadi dikaitkan dengan sabu, Eli tak kuasa menahan tangis.
Bagi keluarga, persidangan bukan sekadar soal vonis bersalah atau bebas. Mereka menuntut jawaban, siapa yang menguras rekening Rahmadi?
"Mengapa sabu milik orang lain dipakai menjeratnya? Dan mengapa aparat yang terekam melakukan kekerasan belum diperiksa?," lirih Eli.
Karena itu, kata Eli, pihak keluarga berharap majelis hakim yang diketuai Karolina Selfia Sitepu sedianya dalam memutus perkara tersebut bersikap adil.
"Bu hakim yang terhormat. Atas nama keluarga, saya berharap Bu hakim dapat bersikap objektif, adil dan bijaksana dalam menilai keterangan saksi-saksi sehingga nantinya memberi keadilan bagi kami dalam memutus perkara adik kami ini," harap Eli.
Desakan pun merambat hingga ke pucuk pimpinan Polri. Nama Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo disebut lantang.
Bahkan, keluarga berharap Kapolri turun tangan memastikan jajaran di bawahnya bersih dari praktik rekayasa karena mereka beranggapan Kapolda Sumut tak mampu menindak Kompol DK.
Apalagi, Kapolda Sumut, Irjen Wisnu Hermawan Februanto tak sekali pun memberikan tanggapan atas kasus ini.
Padahal semestinya, Kapolda Sumut harus turun tangan membersihkan institusi dari praktik penyalahgunaan wewenang.
Sebab, jika kasus ini dibiarkan, bukan hanya Rahmadi yang menjadi korban, melainkan juga harapan publik terhadap institusi kepolisian.
Program Presisi yang selama ini dijadikan bendera Polri transparansi, akuntabilitas, dan berkeadilan akan runtuh oleh kasus semacam ini.
Jika tak segera diselesaikan, Kapolri dengan Presisinya sesungguhnya sedang menggantang asap atau dengan kata lain berusaha menggenggam kepercayaan publik, tetapi yang diraih hanyalah kehampaan.
Meski demikian, Kompol Dedi Kurniawan membantah semua tudingan. Dalam pernyataan tertulisnya yang dimuat sejumlah media, ia menyebut seluruh proses hukum terhadap Rahmadi telah dilakukan sesuai standar operasional prosedur (SOP).
(Kaperwil)