"Tanah yang Hilang, Air yang Terancam, dan Suara yang Dibungkam'

"Tanah yang Hilang, Air yang Terancam, dan Suara yang Dibungkam'

Senin, 09 Juni 2025, Juni 09, 2025
OPEN REKRUTMEN PARALEGAL!

“Tanah yang Hilang, Air yang Tercemar, dan Suara yang Dibungkam"

Pulau Obi dan Wawonii barangkali tak tercatat dalam peta wisata atau percakapan elit kota. Tapi di tanah-tanah kecil itu, sejarah perlawanan dan penderitaan telah menggumpal bersama lumpur tambang dan suara yang tak lagi didengar negara. Dari langit yang dulunya biru kini tertutup debu abu-abu. Dari air yang dulunya jernih kini berwarna kematian. Semua karena satu hal: kerakusan yang dilegalkan.

Saya menulis bukan sebagai aktivis, bukan pula sebagai politisi. Saya menulis sebagai manusia, yang tersentuh nuraninya membaca bagaimana Harita Group, sebuah raksasa industri yang membanggakan “kendaraan listrik dan energi hijau”, justru menginjak-injak kehidupan ribuan warga kecil atas nama investasi. Ketika kampung Kawasi yang dulunya hidup dari laut dan kebun kini menjadi lautan logam berat dan pabrik nikel, kita sedang menyaksikan bukan hanya pencemaran lingkungan, tapi perampasan masa depan.

Apakah yang disebut “kemajuan” itu pantas dibayar dengan air beracun yang harus diminum anak-anak? Apakah industrialisasi harus berarti kriminalisasi terhadap warga yang hanya mempertahankan tanah warisan leluhur mereka? Di balik nama-nama besar dan angka-angka triliunan rupiah dari IPO saham Harita, terdapat tangis para petani yang kehilangan kebun, para nelayan yang tak lagi dapat melaut, dan para ibu yang tak mampu membeli air bersih.

Betapa ironisnya, perusahaan yang mengaku membawa energi ramah lingkungan justru menyalakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batubara yang menghembuskan debu penyakit ke rumah-rumah warga. Anak-anak kecil di Kawasi menghirup “udara kematian”, terkena ISPA, sementara pemegang saham menikmati dividen di ruang ber-AC. Apakah ini yang dimaksudkan sebagai pembangunan? Apakah inikah wajah dari “proyek strategis nasional”?

Lebih menyakitkan lagi, ketika tanah rakyat dicaplok tanpa kejelasan, ketika proses ganti rugi lebih mirip pemaksaan, ketika yang membela justru aparat negara kita seperti menyaksikan kolusi yang dilumuri oleh seragam kehormatan. Rakyat dituduh melawan hukum, padahal hukum sendiri menjelma jadi tameng bagi korporasi.

Saya ingin bertanya kepada para pemimpin negeri ini, kepada pejabat yang hadir meresmikan pabrik-pabrik Harita: pernahkah Anda minum air dari Sungai Ake Lamo setelah hujan turun? Pernahkah Anda duduk di rumah warga Kawasi saat debu PLTU beterbangan, saat anak menangis karena sesak napas? Pernahkah Anda berjalan kaki di jalan kampung dan dihadang hanya karena ingin mengambil kayu bakar?

Pulau Obi dan Wawonii bukan hanya gugusan tanah, tapi rumah bagi manusia. Mereka bukan statistik, mereka adalah keluarga, tetangga, sahabat, mereka pinta bukanlah kemewahan, tapi hak paling dasar: tanah untuk digarap, laut untuk dilauti, air untuk diminum, udara untuk dihirup.

Apabila semua ini masih terjadi, maka kita semua bersalah. Diam adalah pengkhianatan. Mendiamkan yang tertindas adalah menertawakan penderitaan mereka. Saya menulis ini agar mereka yang merasa memiliki kuasa, kekayaan, dan keputusan bisa walau sebentar menundukkan kepala dan mendengar jeritan yang selama ini diredam di balik bising mesin tambang dan euforia pembangunan.

Indonesia tidak dibangun dari nikel dan smelter. Indonesia dibangun dari manusia-manusia kecil yang saling menjaga tanahnya. Jika mereka dilukai, kita sedang meruntuhkan pilar bangsa itu sendiri.

TerPopuler