Si Ganas Penjaga Pintu Kabar

Si Ganas Penjaga Pintu Kabar

Selasa, 24 Juni 2025, Juni 24, 2025
OPEN REKRUTMEN PARALEGAL!

 


Oleh : Wahid IGoW.

Dulu, di sebuah negeri yang jalannya bolong-bolong tapi gedung istana mentereng, hiduplah seorang lelaki yang disukai banyak orang. Ia bukan pejabat, bukan pula orang kaya raya, tapi dia punya kunci ke ruang Datuk Raja (pemimpin negeri), bahkan sering lebih dulu tahu gosip pembangunan daripada pembantu Datuk Raja.


Orang-orang memanggilnya macam-macam. Ada yang bilang dia juru aman, ada yang manggil dia penghubung, tapi di warung kopi, dia lebih sering dipuja sebagai penjaga pintu kabar.


Setiap kali ada tamu bawel, atau orang yang hobi tanya-tanya soal anggaran, dialah yang datang menenangkan. Cukup sebungkus nasi, sekotak rokok tembakau, selembar amplop, maka suasana jadi teduh lagi.


Lima tahun dia hidup manis dan memiliki akses ke Datuk Raja. Pagi makan di kantin istana Datuk Raja, siang makan di restoran dinas, malam minum kopi di samping orang-orang penting.


Tapi musim hujan datang bersama pemilihan baru. Datuk Raja yang lama lengser, kursi empuk berganti pemilik. Lelaki itu yang mengira hidupnya akan mulus seperti biasanya, mendadak terlempar ke halaman.


Ia mencoba mengetuk pintu baru. Membawa cerita masa lalu, jasa-jasa lama, dan nama besar yang dulu bikin dia dihormati.


Sayangnya, pemilik kursi baru tak membuka pintu. Tak ada lagi nasi bungkus di sore hari, tak ada lagi jatah cerutu, tak ada lagi sisa manis dari pundi-pundi anggaran.


Merasa terbuang, dia duduk di warung kopi, menulis kata-kata pahit. Orang-orang membacanya di layar ponsel, mengira dia pejuang keadilan, tak tahu bahwa keadilan yang dia perjuangkan adalah kenangan manis yang tak mau dia lepaskan.


Setiap minggu, dia teriak di kolom status: “Pemimpin baru dzalim! Rakyat sengsara!”


Padahal rakyat tetap berdesak di pasar, tetap berhutang di warung, dan tetap tak peduli siapa yang duduk di kursi Datuk Raja, asal pembangunan berjalan.


Kadang ada orang baru yang kasihan padanya. Diberi rokok, ditraktir kopi. Esoknya, lelaki ini menulis lagi, memuji sedikit, lalu memaki lagi.


Begitulah dia hidup sekarang: separuh pejuang, separuh penagih jatah yang tak pernah kembali.


Orang-orang pun pelan-pelan paham: di negeri itu, kabar bisa dijual, suara bisa disewa, dan yang paling bahaya adalah orang yang hidupnya bergantung pada sisa manis kekuasaan.

TerPopuler