Aksi pria itu menuai kecaman karena terlihat seperti “logat preman” ketika menghadapi mahasiswa yang sedang menyampaikan aspirasi secara damai. Peristiwa tersebut terjadi pada Senin, 16 Juni 2025, dan menimbulkan tanda tanya besar di tengah publik mengenai kapasitas pria tersebut.
Neka Pratama, Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Lubuklinggau, menyesalkan kejadian tersebut dan mempertanyakan apakah pria itu bagian dari unsur pemerintahan, aparat, atau hanya orang biasa yang tidak memiliki kapasitas dalam pengamanan demonstrasi.
“Kehadiran pria berbaju putih yang marah-marah kepada massa aksi sangat disayangkan. Jika dia bukan aparat atau pejabat, mengapa dia berada di hadapan mahasiswa dan bertindak seperti itu? Jangan libatkan preman dalam urusan tata pemerintahan,” tegas Neka.
Aksi mahasiswa sendiri dilakukan untuk menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintahan daerah yang dianggap gagal. Namun, tindakan pria yang diduga tidak memiliki wewenang itu justru memancing emosi dan bisa memicu kericuhan.
Kini, mahasiswa dan publik mendesak agar aparat kepolisian segera menangkap usut insiden tersebut dan menindak oknum yang membuat onar di tengah aksi damai. Mereka juga meminta klarifikasi dari pihak Pemerintah Kabupaten Musi Rawas terkait status dan peran Marga Saputra.
Dugaan keterlibatan keluarga dalam urusan pemerintahan kembali mencuat. Publik mempertanyakan: apakah tata kelola pemerintahan di bawah kepemimpinan Bupati Ratna Machmud kini melibatkan orang-orang di luar struktur resmi, bahkan kerabat.
Menurut UU yang mengatur tentang penyampaian pendapat di muka umum adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. UU ini menjamin hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dan pendapatnya secara bebas dan bertanggung jawab, baik secara lisan maupun tulisan.
Pewarta : Red Tim