Beras Oplosan Ancam Ketahanan Pangan, Amran Ambil Sikap Tegas

Beras Oplosan Ancam Ketahanan Pangan, Amran Ambil Sikap Tegas

Senin, 30 Juni 2025, Juni 30, 2025
OPEN REKRUTMEN PARALEGAL!


 Jakarta, Peristiwa24,id -


Praktik pengoplosan atau mencampurkan beras jenis tertentu dengan jenis lainnya diduga masih dilakukan sejumlah pedagang atau distributor beras di sejumlah daerah di Indonesia.




Padahal, pengoplosan beras setidaknya mengurangi kualitas beras dan tidak sesuai dengan standar mutu beras yang ditetapkan pemerintah.




Terbaru, hasil investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) menemukan peredaran 212 merek beras yang diduga tidak memenuhi standar mutu, takaran, dan harga eceran tertinggi (HET). Akibat pelanggaran tersebut, potensi kerugian konsumen ditaksir mencapai Rp99 triliun.




Akibat pelanggaran tersebut, potensi kerugian konsumen ditaksir mencapai Rp99 triliun.

Pemeriksaan dilakukan langsung ke pasar-pasar besar di 10 provinsi, menyasar kategori beras premium dan medium. 



Pemeriksaan menyangkut kualitas, takaran berat, dan kesesuaian harga dengan aturan pemerintah.



Hasilnya, dari 136 merek beras premium yang diuji, 85,56 persen tak memenuhi standar mutu, 59,78 persen melampaui HET, dan 21 persen tidak sesuai berat. 



Bahkan, banyak kemasan lima kilogram hanya berisi empat kilogram beras. Kondisi lebih buruk ditemukan pada beras medium. 




Dari 76 merek yang diuji, sebanyak 88 persen tidak sesuai mutu, 95 persen melampaui HET, dan 10 persen tidak sesuai takaran.




Temuan ini diperoleh melalui pengujian di 13 laboratorium dan akan segera diverifikasi ulang.Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyoroti anomali atau kejanggalan harga beras yang tinggi di pasar, padahal data produksi menunjukkan stok nasional berlimpah. 




Berdasarkan laporan terbaru, produksi beras nasional diperkirakan mencapai 35,6 juta ton, melampaui target 32 juta ton.




Kata Amran, pemerintah tak akan tinggal diam dan siap menindak tegas pihak-pihak yang merugikan masyarakat.




“Kami mengajak semua pelaku usaha beras untuk segera koreksi. Ini tidak boleh dibiarkan dan harus dihentikan mulai hari ini,” kata Amran, dalam konferensi pers di kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (26/6/2026).




Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian merespons soal hasil investigasi Kementerian Pertanian soal peredaran 212 merek beras yang diduga tidak memenuhi standar mutu, takaran, dan harga eceran tertinggi (HET).



Eliza menilai, temuan adanya 85,56 persen beras premium dan 88,24 persen beras medium tidak sesuai regulasi menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan pengawasan terhadap standar mutu. 




Selain itu, ia mengatakan, praktik oplosan yang dianggap "biasa" di pasar-pasar induk mengindikasikan normalisasi pelanggaran, yang menunjukkan kegagalan dalam sistem pengawasan pasar dan rendahnya risiko hukuman bagi pelaku. 




"Jadi memang perlu efek jera, misal mencabut izin usaha atau denda berkali-kali lipat," kata Eliza, saat dihubungi, Kamis (26/6/2025).




Eliza kemudian menuturkan, praktik oplosan yang marak dapat mengurangi kepercayaan konsumen terhadap pasar beras dan institusi pengawas. 


Hal ini, menurutnya, dapat memicu keresahan sosial karena beras merupakan komoditas yang "sensitif", sebab bisa menentukan stabilitas ekonomi sosial.



Selain itu, katanya, pasar beras di Indonesia cenderung oligopolistik di tingkat distribusi dan ritel, dimana margin keuntungan terbesar diserap di middleman rantai distribusi, sementara keuntungan yang didapatkan petani sendiri tidak sampai  40 persen dari nilai tambah produk tersebut.




Tak hanya itu, Eliz menyoroti, kejadian adanya beras oplosan mencerminkan kegagalan pasar yang disebabkan oleh asimetri informasi antara pedagang dan konsumen. 



Hal ini, menurutnya, dapat memicu keresahan sosial karena beras merupakan komoditas yang "sensitif", sebab bisa menentukan stabilitas ekonomi sosial.



Selain itu, katanya, pasar beras di Indonesia cenderung oligopolistik di tingkat distribusi dan ritel, dimana margin keuntungan terbesar diserap di middleman rantai distribusi, sementara keuntungan yang didapatkan petani sendiri tidak sampai  40 persen dari nilai tambah produk tersebut.


Tak hanya itu, Eliz menyoroti, kejadian adanya beras oplosan mencerminkan kegagalan pasar yang disebabkan oleh asimetri informasi antara pedagang dan konsumen. 



Ia mengatakan, di satu sisi konsumen tidak memiliki akses penuh terhadap informasi mengenai kualitas, komposisi, atau asal-usul beras yang mereka beli. Hal tersebut yang kemudian dimanfaatkan pedagang.



"Nah pedagang yang melakukan praktik oplosan pun itu memanfaatkan ketidaktahuan konsumen dan ketiadaan traceability ini untuk memaksimalkan keuntungan.




Hal ini membuat konsumen membayar harga premium untuk produk yang tidak sesuai dengan kualitas yang dijanjikannya. Ini konsumen dirugikan banyak," jelasnya.




Lebih lanjut, menurut Eliza, solusi untuk permasalahan tersebut, satu di antaranya bisa dengan menindak tegas pelaku kejahatan dengan sanksi yang jelas dan efek jera.




Selain itu, perlunya reformasi rantai pasok, dalam hal ini memperpendek rantai pasok dengan mendorong penjualan langsung dari petani ke konsumen.




Kemudian, lanjutnya, untuk perlindungan konsumen beras premium dan medium membutuhkan sertifikasi mutu dan pelabelan transparan. 




"Adanya sertifikasi ini akan meningkaktkan traceability sehingga konsumen tau beras yang mereka konsumsi ini berasal darimana dan ditanam oleh petani siapa dengan metode seperti apa. Jadi konsumen tidak dirugikan, membeli barang sesuai kualitasnya," pungkas Eliza.










Sumber : Berita1.info




TerPopuler